Hello again, blogger! Sekarang gue mau sedikit cerita lagi tentang segala hal yang telah atau mungkin tengah terjadi di hidup gue akhir-akhir ini. Makin kesini rasanya makin luar biasa kabarnya, masih diberkati, thank God I am blessed! Sebelum gue bercerita lebih jauh, gue mungkin ingin memberikan sebuah ilustrasi supaya lebih mudah dicerna kali ya.
Ada seorang anak kecil, yang hanya hidup bersama Ayahnya. Mereka tidak berkekurangan, mereka juga tidak terlalu berkecukupan. Meski begitu, mereka hidup sangat bahagia. Ayahnya sangat mencintai anaknya, lebih dari ia mencintai dirinya sendiri. Setiap hari sang anak selalu bermain bersama Ayahnya. Ketika berpergian, sang anak selalu memegang tangan Ayahnya agar ia tidak tersesat. Ia percaya bahwa Ayahnya akan mengantarkannya ke tempat yang menyenangkan, dan memang benar bahwa sang Ayah akan mengajak anaknya untuk pergi ke tempat yang indah, nyaman juga tentram. Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun telah dilewati, sampai sang anak sudah cukup dewasa. Ia merasa bahwa ia tidak butuh tuntunan Ayahnya lagi, karena ia telah merasa sudah bisa, sudah dapat mengatasi segala halnya sendiri. Sampai pada akhirnya ia dihadapkan oleh suatu masalah yang pelik. Ia mulai bingung, panik, tanpa arah tujuan, bimbang, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia merasa tidak punya siapa-siapa sebagai pegangan. Sampai akhirnya ia ingat bahwa ia masih punya Ayahnya. Ia lantas langsung pergi ke Ayahnya, minta petunjuk, minta bantuan, minta nasihat, petuah, wejangan dan segala hal lainnya yang bisa menenangkan hatinya. Apakah sang Ayah masih mau menanggapi anaknya itu? Tentu saja ia mau, ia bersedia dengan segenap hatinya untuk membantu sang anak meski pernah 'dianggurkan' oleh anaknya sendiri. Mengapa sang Ayah masih mau 'meladeni' anaknya? Itulah yang mau gue bahas di postingan ini :)
Anggap sang Ayah adalah Tuhan, dan anak adalah kita, manusia berdosa. Semenjak kecil, kita telah 'ditimang' oleh Tuhan, Ia memelihara kita lewat kedua orangtua kita, Ia memberi kita makan, Ia menjaga kita, membesarkan kita hingga dewasa, Ia memberikan tanganNya kepada kita agar kita bisa dituntun olehNya. Sampai pada akhirnya kita beranjak dewasa, mulai mengerti banyak hal, mulai mengerti mana yang buruk dan mana yang baik, mulai mengerti apa itu dosa. Perlahan-lahan, pegangan itu lepas, pikiran kita pergi jauh menjelajahi duniawi, melintas mulus ke arah keegoisan, keserakahan, kebohongan, kemunafikan, kekotoran, atau mungkin kenistaan. Tangan yang biasa kita jadikan tuntunan perlahan-lahan mulai kita lepas, mulai merasa bahwa diri kita hebat, mulai merasa bahwa tanpa Dia kita bisa melakukan segala hal. Mulai enggan bergandengan denganNya.
Sampai kita tiba di suatu persimpangan yang membingungkan, merasa bahwa segala keadaan yang ada di sekeliling kita berada di batas kemampuan kita. Merasa bingung untuk melangkah, tanpa arah tujuan. Mulai merasa bahwa kita sudah tidak punya siapa-siapa lagi untuk dijadikan acuan. Akan tetapi, kita mulai ingat, bahwa masih ada 'tangan' yang masih setia menunggu kita. Perlahan-lahan kita mulai menghampiri tangan itu, berusaha untuk bergandengan lagi dengan tangan itu, berusaha untuk kembali berelasi dengan Tuhan. Namun, sering timbul pertanyaan, maukah tangan itu kembali menyambut tanganku yang sudah kotor ini? Ya, saya percaya bahwa tanganNya bersedia menyambut kembali tanganku.
Akan tetapi, mungkin akan ada saatnya ketika godaan itu kembali lagi. Akan ada waktunya ketika kita sudah berpegangan erat dengan tanganNya, entah mengapa tangan ini ingin sekali lepas, rasanya ingin kembali mencicipi dosa lagi, rasanya tanganNya tidak cukup membantu saya. Ketika tangan itu mulai lepas lagi, masih sudikah Ia menerima tanganku kembali? Jawabannya adalah, Ya! Dia pasti masih menanti-nantikan tangan kita untuk kembali berpegangan kepada tanganNya. Masih ada kesempatan kedua sebelum terlambat. Seperti yang tertulis dalam 1 Yohanes 1:9, "Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan." Kadang sehabis melakukan dosa, kita merasa sedih, merasa seperti orang 'mati', tapi itulah yang dikehendakiNya untuk kita. Sebab dukacita menurut kehendak Allah menghasilkan pertobatan yang membawa keselamatan dan yang tidak akan disesalkan, tetapi dukacita yang dari dunia ini menghasilkan kematian (2 Korintus 7:10).
Jika kita benar-benar berpegangan erat kepada tangan Tuhan, gue rasa hati kita tidak akan goyah dan berpaling kembali ke arah dosa tadi. Jika kita merasa sudah berpegangan erat dengan Tuhan tapi masih sering terjerumus ke dalam dosa kembali, kita masih belum berpegangan erat denganNya, sama saja seperti iman tanpa perbuatan, mati. Oleh karena itu, kita harus minta bantuan Tuhan, berusaha untuk lepas dari segala kejelekkan tadi. Mulai kembali relasi denganNya, mulai kembali berjalan denganNya. Jangan takut dibilang sok suci, weird, kan kalau Allah di pihak kita, siapa yang berani lawan kita? :) Jadi, tetap andalkan Tuhan dalam segala kehidupan kita. Let's walk with God!
Sebab Dialah Allah kita, dan kitalah umat gembalaan-Nya dan kawanan
domba tuntunan tangan-Nya. - Mazmur 95:7
0 comments:
Post a Comment