17 July 2015

Belajar dari Film 'The Art of Getting By'

Hallo semua! HAPPY IED MUBARAK! Wooow, nggak kerasa udah lebaran lagi ya. Oh iya, selama liburan kali ini kerjaan gue nggak jauh-jauh kok dari belajar untuk mempersiapkan semester tiga.. Oh nggak mungkin banget ya, hahaha yaa jadinya gue sibuk banget main game, baca novel, main badminton dan nonton film. Naaaah, sekarang gue pengen ngebahas salah satu film tahun 2011 yang baru aja gue tonton nih, yaitu..... The Art of Getting By. Film ini dibintangi oleh salah satu aktor cilik favorit gue yaitu Freddie Highmore, lo bisa liat penampilan ciamik dia di Charlie and the Chocolate Factory, The Spiderwick Chronicle, August Rush, juga Finding Neverland (apalagi memorable scene nya yang bareng Johnny Depp ampe eksis jadi meme). Tokoh utama wanitanya diperankan oleh keponakan dari Julia Roberts, Emma Roberts yang sukses bikin geli ketawa-tawa di We're the MillersAwal mula gue nonton ini adalah ketidaksengajaan, ketika bingung mau nonton apa, terus korek-korek film eh ketemu film ini yang dibintangi sama si Freddie Highmore dan gue penasaran gimana aktingnya, akhirnya nonton.


Awal mula film tiba-tiba udah diketemuin sama si George (Freddie Highmore), seorang siswa SMA tingkat akhir yang sebenarnya memiliki bakat potensial dan pintar tetapi ia lebih memilih menggunakan egonya untuk mengalahkan semua talentanya. George selalu punya prinsip kalo, "We live alone, we die alone. Everything else is just an illusion."  Dia selalu berpegang teguh kalo semua yang kita lakuin di dunia ini tuh sia-sia, toh akhirnya kita juga bakal mati dan nggak ngebawa apa-apa dari dunia ini. Hmm...dia emang ada benarnya juga sih. Tapi yaa, nggak gitu juga kali. Akhirnya si George ini jadi nggak pernah yang namanya ngerjain tugas dari sekolah karena itu sia-sia, ya jadinya dia jadi langganan ketemu sama kepsek.


Sampai akhirnya dia ketemu sama seorang cewe cukup populer di sekolahnya, Sally (Emma Roberts), yang mengajak George untuk melihat dunia luar dan menepis prinsip George yang agak nyeleneh itu. Yaa, seperti kebanyakan film-film romantis untuk teenagers, cowo ketemu cewe, hidupnya berubah, voila! Tapi kayanya enggak buat George, semenjak ketemu sama Sally, dia masih memegang teguh sama prinsipnya, masih jarang ngerjain pr, tapi sekarang sibuk jalan-jalan bareng Sally. Lama-kelamaan mulai tumbuh perasaan suka sama Sally, sayangnya George tidak mengakui kalau ia jatuh cinta sama Sally. Sekali lagi, masih bertahan sama prinsipnya kalo jatuh cinta juga salah satu bagian dari ilusi.


Sampai akhirnya konflik itu tiba, ketika Sally mengajak George untuk berhubungan seksual, George merasa seperti awkward, tidak nyaman, dan sangat amat jauh dari prinsipnya, dan mungkin cenderung ilfeel sama Sally. Mulai saat itu mereka berjauhan dan seperti tidak kenal lagi, meski Sally sempat menghubungi George. Tidak hanya itu, masalah lain juga muncul yaitu masalah finansial keluarga George, lalu masalah pendidikan George, ia harus mengerjakan pekerjaan rumahnya selama satu tahun yang tidak pernah ia sentuh dalam jangka waktu tiga minggu untuk dapat lulus dari SMA. Woooow, bagaikan jatuh tertimpa tangga. Bisakah George mengatasi masalah itu semua dari masalah keluarga, pendidikan, maupun cintanya? Ini bener-bener art of getting by.


Well, pemilihan Freddie Highmore sebagai George menurut gue cukup baik dan cukup menjiwai, dapat dilihat dari dialognya dengan guru-gurunya ketika ia tidak mengerjakan tugasnya. Poin plus lagi adalah Highmore benar-benar memerankan anak muda Amerika dengan baik, terlihat dari logatnya. Sebenarnya Highmore adalah seorang British, dan di film ini gue enggak mendengar bahasa inggris yang ke-british-british-an. Akan tetapi, durasi film yang terlalu singkat menyebabkan penonton tidak dapat menggali lebih dalam karakter George ini, sebelum ingin menggali lebih dalam sudah diperkenalkan lebih dulu oleh Sally dan langsung ke inti permasalahan. Karakter Sally yang dimainkan oleh Emma Roberts sebenarnya juga tidak jelek-jelek amat, tapi kayanya karakter ini tidak terlalu membekas dan cenderung bisa digantikan. Chemistry mereka berdua yaa lumayan juga, dan cukup awkward melihat aktor cilik yang sudah dewasa melakukan sebuah kissing scene. Semakin menuju ke akhir film, film ini semakin seru untuk ditonton. Klimaksnya yang menurut gue cukup epic meski klise membuat film ini bikin penontonnya 'meleleh'. Memorable scene nya ada di scene akhir di ruang kesenian yang sekaligus menutup film ini dan mungkin membuat penasaran penontonnya. Film ini sepertinya berusaha untuk tidak terlihat cheesy dan rasional yang menurut gue cukup seru dan tidak membosankan dengan hadirnya drama-drama lebay yang biasanya ada di film-film romansa kebanyakan.


Penggunaan 'getting by' sebagai judul film ini terasa cocok sekali. Getting by bisa berarti dua hal, 'bertahan hidup' dan 'mengatasi suatu hal'. Maksudnya bertahan hidup di sini sudah digambarkan oleh George sendiri, yaitu ketika ia ditimpa berbagai masalah bertubi-tubi, ia harus bertahan hidup untuk menyelesaikan masalah tersebut. Arti dari mengatasi suatu hal di sini adalah cara George untuk bisa mengatasi masalah-masalah tersebut yang datang nggak kenal waktu. Penasaran? Ya ditonton atuh :)

Naaah, salah satu hal kenapa gue mau menulis tentang film ini adalah pembelajaran yang kita dapat dari film ini. Menurut gue pembelajaran yang bisa kita petik dari film ini tuh mahasiswa banget deeeh. Ada dua hal sih yang bisa gue dapet dari film ini, yaitu:

1. Punya Prinsip Boleh, Fanatik Jangan!

Nah ini banget nih! Sebagai mahasiswa sudah tentunya kita sangat idealis, nah tentunya kita juga memiliki prinsip tersendiri dong untuk 'mengidealkan' diri kita. Sayangnya, kebanyakan mahasiswa terlalu fanatik sama prinsipnya sendiri, terlalu mendewakan prinsipnya sehingga melupakan dunia sekitar. Dengan prinsip fanatik yang kita pegang, kita cenderung melihat bahwa prinsip yang dimiliki oleh orang lain adalah salah dan menganggap bahwa prinsip kitalah yang paling benar. Nah, kalo udah fanatik gitu, kita akan membatasi memilih teman atau kolega kita yang cenderung memiliki prinsip yang sama dengan kita, beruntung kalo ada temen yang seprinsip sama kita, kalo engga? Tuh, liat si George yang berpegang teguh sama prinsipnya sehingga dia nggak punya temen sama sekali di sekolah. 


Dengan fanatik sama prinsip hidup kita, kita cenderung mempunyai emosi tersendiri ketika berhadapan atau bahkan berargumen dengan prinsip orang lain yang berbeda sama kita. Inget quote ini nggak, 'bila emosi mengalahkan logika, terbuktikan banyak ruginya?'? Nah, kutipan tersebut gue ambil dari AADC yang menurut gue cukup berkaitan dengan kasus ini. Hati-hati looh terlalu fanatik mungkin bisa menghasilkan suatu masalah lain. Kalo dari film di atas kefanatikan George membuat dia tidak memiliki teman sama sekali, tugas sekolah terbengkalai, kewajiban sebagai pelajar tidak terpenuhi, tidak memiliki pacar, bersikap tidak acuh dengan orang tua, huaaah banyak deeeh! Oh iya, di film itu juga ada scene menarik lagi, ketika George sudah penat sama masalah-masalahnya dan berniat untuk kembali ke Sally dan siap untuk 'menembaknya', dan jedeeeer ternyata Sally udah jadi milik orang lain! Waduuuh nyesel tuh, terlalu fanatik sih! Jadi yaa, menurut gue punya prinsip itu boleh, bahkan harus, tapi kita juga harus dinamis dalam memiliki prinsip tersebut agar pada saat kita berhadapan dengan prinsip orang lain yang berbeda dengan kita, kita dapat melihatnya sebagai suatu keindahan, bukan suatu kehancuran. Perbedaan itu indah, bukan?

2. Jangan Suka Menunda Pekerjaan!

Mungkin ini lebih berkaitan sama masalah George soal pendidikannya. Ini tuh mahasiswa banget kayanya ya. Tunggu kerjaan banyak dulu baru dikerjain h-1! Dapet tugas hari Senin, dikumpulinnya hari Senin minggu depan, dikerjainnya ya hari Minggunya lah, sisa harinya dikemanain? Buat main, ngerjain tugas lain yang besoknya dikumpulin, jalan-jalan, nonton dan lainnya deh. Jujur ya, ini sih gue juga gitu, tapi gue berusaha untuk berubah wkwkwkwk.


Nah, sabagai mahasiswa tentu kita dituntut untuk tidak hanya aktif di akademik saja tapi juga harus meningkatkan soft skill kita dengan terjun aktif di dunia organisasi yang ada di kampus. Nah, untuk dapat meningkatkan skill di dunia akademik maupun di organisasi kita harus bisa mengatur waktu sebaik-baik mungkin agar kedua kegiatan tersebut bisa berjalan secara beriringan. Kita harus bisa membuat kedua hal tersebut menjadi sebuah prioritas agar keduanya dapat dijalankan sebaik mungkin dan meminimalisir pengorbanan salah satu dari kedua kegiatan tersebut. Liat tuh kaya si George, dia harus ngerjain tugas satu tahun yang tidak dia kerjakan dalam jangka waktu tiga minggu! Bayangkan sodara-sodara ketika kita harus ngerjain semua tugas kita selama dua semester selama tiga minggu! Yaampun untung itu di film ya jadi cuma akting, kalo di dunia nyata gimana yaampun? Saking banyaknya tugas yang harus dikerjakan ampe bingung mau ngerjain yang mana dulu yaa, waduh!


Yaa, pokoknya itu deh yang bisa gue tangkep dari film The Art of Getting By ini. Mungkin masih banyak yang bisa ditangkep dari film ini, tapi gue cuma share dua hal saja hehehehe. Nah, jadi getting by di sini sebagai mahasiswa kita harus bertahan hidup layaknya George dalam bertahan hidup dengan masalah-masalahnya, jangan takut ngadepin masalah-masalah itu karena masalah itu pasti bakal ada, tergantung cara kita melihat masalah itu, harus fight dalam bertahan hidup! Lalu, getting by yang kedua adalah mengatasi masalah. Masalah itu pasti ada, apalagi bagi mahasiswa, ada masalah bingung gimana cara nyelesain tugasnya, masalah banyak banget tugasnya, masalah di organisasi, masalah sama temen, masalah sama pacar dan lain sebagainya. Kita harus bisa bijak dalam mengahadapi semua masalah itu, dan yang pasti jangan ditunda penyelesaian masalahnya, karena masalah itu bisa beranak pinak, jadi banyak dan bahaya! Oh iya, satu hal yang paling penting, kalo kamu ada masalah jangan sungkan-sungkan untuk berdoa dan minta pertolongan dari Tuhan supaya kamu bisa menghadapi dan mengatasi masalah itu dengan baik. Ingat, jangan pernah meminta beban yang RINGAN dari Tuhan, tapi mintalah bahu yang KUAT! 

 
Copyright © The Untold(s) | Theme by BloggerThemes & frostpress | Sponsored by BB Blogging