Baru aja dikasih tugas bikin cerpen dari guru Bahasa Indonesia. Berbagi sedikitlah sama para blogger. Semoga kalian terhibur:D
Misteri Uang Seratus Ribu
Entah kenapa hari ini aku malas sekali bangun dari tempat
tidurku. Sepertinya kasur empukku ini masih saja rindu kepadaku, padahal aku
tahu bahwa waktu telah menunjukkan pukul 06:45. Hari ini hari Senin dan nanti
akan diadakan upacara rutin. Aku sangat malas mengikuti upacara ditambah dengan
adanya sinar matahari pagi yang sangat menyengat yang mana akan membuatku
berkeringat.
“Bobi,
Bobi ayo bangun! Kamu sudah telat sekolah nih.”
Mama memanggilku dari bawah. Satu-satunya hal yang membuatku beranjak dari kasur
empukku ini adalah teriakan Mama.
Namaku
adalah Bobi. Aku sekarang berumur 13 tahun dan duduk dibangku kelas 8 atau 2
SMP. Aku memiliki seorang kakak perempuan yang bernama Bella. Menurutku, dia
sangat aneh dan cerewet. Dia suka sekali dengan film-film luar negeri terutama
film Hollywood. Kamarnya dipenuhi dengan poster-poster film Hollywood yang
menurutku menjadikan kamar dia layaknya sebuah bioskop. Berbanding terbalik
dengan Papa dan Mamaku yang tidak suka menonton film. Jangankan menonton film,
menonton acara televisi saja sangat jarang. Sedangkan aku lebih suka
menginvestigasi suatu kasus dan memecahkannya layaknya seorang detektif. Aku
memang paling berbeda diantara anggota keluargaku, karena menurutku berbeda itu
sangatlah mengasyikan.
☺☺☺
Aku
telah bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Mamaku telah menyiapkan bekal untukku.
Aku berjalan menuju meja makan dan membuka kotak makanan berbentuk kubus
berwarna hijau itu dan mencari tahu bekal apa yang kubawa hari ini. Menu hari
ini nasi goreng. Meski bosan tapi aku tetap membawanya, karena nanti juga habis
di sekolah. Aku menutup kotak makananku kembali. Aku bergegas mengambil botol
minumku dan langsung berangkat. Tiba-tiba suara Mama terdengar dari ruang tamu.
“Bob, gak salim dulu sama Mama? Enggak mau uang jajan?” Aku berbalik
badan, mencium tangan mama sembari mengambil uang jajan di tangan kirinya.
“Loh? Papa mana?” tanyaku penasaran.
“Oh,
Papa sudah berangkat dari tadi pagi. Dia ada pekerjaan tambahan dari
atasannya.”
“Terus
Kak Bella?” tanyaku penasaran.
“Dia
kuliah siang. Tumben kamu nanya terus udah
kaya polisi aja.” Aku hanya
terdiam mendengar perkataan Mama, tumben sekali ia bercanda denganku, padahal
aku tidak begitu suka diajak bercanda kecuali dengan teman-temanku.
☺☺☺
Bel
sudah berbunyi dan aku harus segera masuk ke kelas, menaruh ranselku dan
langsung bergegas ke lapangan upacara.
“Bob,
tumben lo telat dateng. Biasanya lo yang paling getol dateng pagi buta.” Aku menoleh ke belakang dan melihat siapa yang berbicara.
Ternyata itu Aldo, teman kecilku yang semenjak SD sekelas denganku.
“Eh, bikin kaget aja lo. Iya nih, gue lagi males banget upacara. Panas!”
Upacara
berjalan sangat lama dan aku sangat bosan mendengarkan perkataan Pak Sugeng,
kepala sekolah kami. Aku hanya menguap dan termenung tanpa memikirkan apapun.
“Heh! Ngelamun
aje, Bob. Mikirin apa sih?” Rani menegurku.
“Sssssst. Diem, lagi upacara nih.” Aku berbisik kepadanya. Rani juga
teman kecilku semenjak SD.
“Enggak bakal kedengeran kok sampe sini.”
Rani menjawab sambil berbisik juga.
Aku
hanya diam, tidak membalas perkataan Rani. Takut ditegur oleh Pak Sugeng yang
sepertinya memperhatikan gerak-gerikku dan Rani.
Selesai
upacara kami langsung meninggalkan lapangan dan bergegas ke kelas. Pelajaran
selanjutnya adalah matematika dan untungnya Bu Melly tidak masuk dan tidak
menitipkan tugas. Aku sangat senang dan memanfaatkan waktu itu untuk ngobrol-ngobrol santai bareng Aldo dan
Rani.
“Bob,
hari ini tanggal berapa deh?” Aldo
bertanya kepadaku sambil tertawa cekikikan. Aku melihat jam tanganku dan
membalas perkataannya,
“Empat
Maret, Do. Kenapa emangnya?” Aldo
masih saja tertawa, Rani juga ikut tertawa. Aku bingung melihat kedua sahabatku
tertawa cekikikan tanpa sebab.
“Ah, enggak ada apa-apa kok, Bob.” balas
Aldo.
Aku
semakin bingung dan memutuskan untuk membaca buku matematika meski aku tidak
paham maksudnya.
Kriiiing......kriiiiing. Bel tanda
pulang sekolah sudah berbunyi. Saat-saat ini adalah saat-saat yang sangat
ditunggu-tunggu oleh seantero siswa yang capek sekolah. Aku langsung bergegas
merapikan buku dan alat tulisku ke dalam ransel dan langsung menghampiri Aldo
dan Rani. Seperti biasa, aku selalu pulang jalan kaki bersama mereka berdua.
Rumah kami kebetulan berdekatan dari sekolah, jadi kami sering pulang sekolah
bersama.
“Bob, sorry ya sepertinya hari ini gue sama Aldo enggak pulang bareng lo deh.”
“Hah? Kenapa emangnya?”
“Soalnya.....gue, mmmmm.”
Rani menjawab sambil bingung.
“Soalnya
gue sama Rani mau ke toko buku, nyari buku buat belajar bareng.” Aldo tiba-tiba menjawab.
“Ooh, oke deh. Gue pulang sendiri aja.” Sejak kapan Aldo suka buku ya? Tanyaku dalam hati.
☺☺☺
Keesokan
paginya aku terbangun jam 06:00 dan langsung mandi. Hari ini tanggal lima Maret
dan pasti tidak ada yang spesial di hari ini. Hari ini pasti berjalan sangat flat. Selesai mandi dan berpakaian aku
bergegas turun ke bawah menuju meja makan. Mama, Papa dan Kak Bella sudah rapi.
Aku bingung dan bertanya-tanya sendiri dalam hati, lagi ada apa nih? Tiba-tiba mereka menghampiriku,
menyalamiku serta mencium pipi juga keningku sambil berkata “Selamat ulang
tahun ya, Bob!”
Hah? Ulang tahun? Siapa? Aku? Sekarang?
Aku bertanya-tanya dalam hati. Sontak aku langsung melihat jam tanganku dan
menunjukan tanggal 05 Maret. Oh iya!
Hari ini aku ulang tahun. Aku baru sadar. Bodohnya aku, lupa dengan ulang tahun
sendiri. Ternyata Mama sudah membelikan ku seloyang kue cheese chocolate-nya Harvest.
Mama juga memasakan makanan kesukaanku, spicy
beef teriyaki dan cah kangkung.
Aku sangat terkejut dan masih saja bingung kenapa aku bisa lupa dengan hari
ulang tahunku sendiri. Papa dan Mama sepertinya tidak sempat membeli kado
untukku, lagipula aku juga tidak menginginkannya. Mereka memberikanku uang
sejumlah seratus ribu rupiah. “Lumayanlah,
untuk ditabung.” kataku dalam hati.
Di
sekolah ternyata lebih parah lagi, teman-teman sekelasku ternyata memberiku surprise sepulang sekolah. Aku digiring
teman-temanku juga wali kelasku, Pak Bondan ke lapangan belakang sekolah.
Disana aku disiram air yang bau sekali. Tidak lupa juga tepung, telur, kopi,
gula, bahkan minyak. Mungkin aku adalah orang paling bau saat itu. “Bobi, happy birthday ya!” Semua langsung
memberikanku selamat tanpa menyalamiku, mungkin mereka takut terkontaminasi
dengan segala ingredients yang ada di
tubuhku. Begitu juga dengan Aldo dan Rani. Aku sangat yakin bahwa mereka adalah
otak dibalik ini semua. Mereka memberiku sebuah notes berwarna hitam dengan bertuliskan ‘Happy 14th Birthday, Aldo!’ Mungkin mereka tahu kalau aku ini
adalah pelupa berat, jadi mereka memberiku ini. Untung saja hari ini ada
pelajaran olah raga, jadi aku pulang mengenakan baju tersebut.
Saat
perjalanan pulang, aku melihat ada seorang nenek yang sedang kesusahan. Ia
membawa 2 buah kardus yang kelihatannya cukup berat. Ia sepertinya kesusahan
untuk menyebrang. Aku memberanikan diri untuk menghampiri nenek itu dan sambil
menawarkan pertolongan. Nenek itu sangat seram. Rambutnya telah putih semua dan
terdapat bercak-bercak hitam di wajahnya. Nenek tersebut menjawab permintaanku,
“Oh,
boleh, dik. Kebetulan nenek lagi kesusahan.”
Aku
langsung membawa barang bawaan nenek tersebut dan membantunya menyebrang. Aku
juga mengantar nenek itu pulang ke rumahnya, kebetulan rumahnya tidak begitu
jauh. Setelah selesai aku langsung pulang tidak lupa juga nenek itu mengucapkan
terima kasih. Aku menjawabnya dengan penuh senyuman, sangat menyenangkan bisa
membantu seseorang saat hari ulang tahunku.
☺☺☺
Aku
terbangun dengan wajah yang ceria. Menyambut hari baru dengan penuh semangat.
Aku membuka jendela dan melihat bahwa seragamku kemarin telah dijemur Bi Inem.
Cepat sekali Bi Inem mencucinya. Aku langsung mandi dan bergegas ke ruang
bawah. Setelah semua persiapan selesai aku langsung pergi menuju sekolah, tentu
dengan wajah yang masih ceria. Sesampainya di sekolah, Aldo dan Rani langsung
menghampiriku dan langsung bertanya,
“Bob, nyokap bokap lo ngasih kado apa kemarin?”
“Ooh,
mereka enggak sempat beliin gue kado, jadi gue cuma dikasih mentahnya aja deh. Lumayan, cepe.”
Aku
merogoh kantongku, ingin memamerkan uang seratus ribuku kepada mereka.
Tiba-tiba saja raut mukaku berubah panik.
“Kenapa,
Bob?” Rani bertanya.
“Kok, uang gue gak ada ya?”
“Yaiyalah Bob, kan lo dikasihnya kemaren,
pasti ada di saku seragam lo kemarinlah.” balas Rani.
Mungkin
Rani betul, pasti ada di saku seragamku kemarin yang sekarang telah dijemur Bi
Inem. Semoga saja masih ada disana. Jika tidak, aku tidak tahu harus berbuat
apa lagi.
Hari ini
aku tidak konsentari dalam belajar. Aku terus memikirkan uang seratus ribuku
itu. Aku khawatir kalau saja uang itu tidak ada di kantong seragamku. Setelah
bel pulang sekolah aku langsung bergegas pulang ke rumah. Tanpa sadar aku
meninggalkan Aldo dan Rani. Sesampainya dirumah aku langsung ke halaman
belakang tempat seragamku dijemur. Aku langsung merogoh saku seragamku dan
ternyata uang tersebut tidak ada! Aku lemas. Bingung harus berbuat apa. Aku
terus memutar otak, mengingat-ingat kembali hal yang kulakukan sepanjang hari
kemarin.
☺☺☺
“Ketemu gak, Bob uangnya?” Aldo bertanya.
“Ilang.” jawabku lemas.
Wajah
Aldo dan Rani langsung berubah. Wajah Rani seperti ingin berkata “Are you serious?” tapi tidak
dikatakannya.
“Pas lo pulang dua hari yang lalu lo ngapain aja?” tanya Rani.
“Ah! Gue ngebantu seorang nenek ngangkat barang ke rumah dia!” Aku
langsung melotot ke arah Aldo dan Rani dan langsung menarik kesimpulan bahwa
nenek tersebut adalah pelakunya.
☺☺☺
Setelah
bel pulang sekolah aku, Aldo dan Rani langsung pergi ke rumah nenek tersebut. Sesampainya
disana kami terkejut. Pintu rumahnya terbuka tetapi didalamnya terlihat sepi.
“Permisi,
spada.” aku menyapa, tapi tidak ada
seorangpun yang keluar. Kuputuskan untuk masuk tanpa izin dari sang pemilik
rumah.
“WAAAAAAAAAAAAAAAAAA” Rani berteriak.
“Kenapa,
Ni?” Aldo bertanya, ikut kaget juga.
“Liat tuh, ada anak kecil diatas kursi
goyang! Serem banget!”
Aku dan
Aldo langsung menoleh. Kaget serta takut. Dihadapan kami ada seorang anak kecil
dengan hanya memakai celana dalam doraemon berawarna biru. Aku sempat mengira
bahwa dia adalah tuyul. Tapi ternyata
aku salah. Dia manusia. Kami bertiga menjauh dari anak kecil tersebut yang
hanya diam melihati kami. Tapi tiba-tiba langkahku terhenti. Aku melihat dia
menggenggam sehelai uang berawarna merah. Aku melihat gambar Soekarno-Hatta di
uang tersebut. Ah! Itu pasti uangku.
“Heh, tuyul! Balikin duit gue!” aku berteriak.
“SIAPA
YANG KAMU SEBUT, TUYUL? DASAR ANAK-ANAK NAKAL! SINI KALIAN!” tiba-tiba terdengar suara perempuan renta yang
ternyata adalah nenek yang kubantu pada saat hari ulang tahunku. Sepertinya dia
sudah lupa denganku.
Aku,
Aldo dan Rani langsung berlari ke arah pintu keluar sebelum nenek tersebut memarahi
kami. Kami tidak bisa berteriak. Dia sangat menyeramkan.
☺☺☺
“Udahlah, Bob! Relain aje duit lo!” Aldo membujukku.
“Enggak!” aku berkata ketus.
“Pokoknya hari ini kita harus kesana
lagi! Gue masih penasaran sama tuh nenek sihir.”
“Ogah!” Rani tidak kalah ketus.
“OKE, FINE!” tak sadar aku berteriak ke
arah mereka.
“Siapa
yang nanya kabar lo, Bob? Kok malah ngomong fine? Emang gue nanya
how are you?” saut Aldo.
Aku
diam. Jengkel.
☺☺☺
Setelah
pulang sekolah aku langsung pergi ke rumah nenek sihir tersebut. Tentu saja
seorang diri, karena Aldo dan Rani tidak mau menemaniku. Aku belum bercerita
tentang masalah ini kepada orang tuaku. Aku takut mereka marah.
Rumah
tersebut masih saja sepi dan kotor, tapi hari ini pintunya tertutup. Aku
memberanikan diri mengetok pintu.
“Iya,
tunggu sebentar!”
Seseorang
membalas ketukanku. Entah kenapa aku seperti mengenal suara ini. Benar saja!
Ternyata yang membuka pintu adalah Bi Inem. Bibi yang bekerja di rumahku. Aku
bingung dan sempat berpikir bahwa aku salah rumah.
“Loh? Den
Bobi? Ngapain disini?” Bi Inem
bertanya bingung.
“Eh? Loh?
Bibi sendiri ngapain disini?”
“Kok malah balik tanya? Ini kan rumah Ibu
bibi. Ibu bibi baru dateng dari Wonosobo
kira-kira tiga hari yang lalu.”
Tiba-tiba
seorang anak kecil yang masih saja menggunakan celana dalam biru doraemon
muncul dihadapanku. Ia masih saja menggenggam sehelai uang seratus ribu.
“Bi,
maaf sekali lagi. Sepertinya ibunya bibi mengambil uang seratus ribu saya. Saya
sempat bertemu dia tiga hari yang lalu. Dan sepertinya uang yang digenggam anak
kecil ini adalah milik saya.” aku menjelaskan panjang lebar.
Bi Inem
melihat ke arah anak kecil tersebut sambil menghela nafas.
“Uang
seratus ribu? Ah! Uang milik Den Bobi sudah bibi kembalikan tadi pagi
di saku seragam Den Bobi yang waktu
itu bibi cuci. Bibi mengeluarkan uang itu karena takut basah dan robek.
Sebenarnya bibi ingin mengembalikannya kemarin, tapi bibi sibuk ngurusin ibu bibi dan anak bibi ini.
Uang yang dipegang ini adalah uang bibi, ia selalu menangis jika tidak diberi
uang. Ya, sebenarnya dia berumur 10 tahun tapi sayang pertumbuhan tubuh serta
otaknya terhambat karena bibi tidak memberikan gizi yang cukup baginya sewaktu
kecil.”
Anak Bi
Inem? Jadi anak kecil yang selama ini kukira tuyul adalah anaknya Bi Inem? Aku hanya bisa diam seribu bahasa.
Bingung harus berkata apa.
“Ah, maaf Bi! Saya benar-benar minta
maaf.” aku sangat malu sekali.
Perasaanku
campur aduk, antara malu, sedih, tapi juga senang.
☺☺☺
“Bob, tadi pagi Bi Inem ngasih uang kamu tuh. Ada
di saku kamu ya.” Mama
menginformasikan info yang sudah kuketahui.
Aku
langsung bergegas ke kamar dan membuka lemariku. Aku merogoh saku seragamku dan
terdapat uang dan sehelai kertas bertuliskan ‘Maaf ya, Den Bobi baru kembaliin uangnya sekarang.’ Aku merasa malu
dan bersalah kepada Bi Inem.
☺☺☺
“Permisi,
permisi.” sahutku ke rumah Ibu Bibi Inem.
“Eh, Den Bobi. Ada apa?” Bi Inem
membukakan pintu sambil bertanya.
“Ah, enggak
Bi. Saya merasa bersalah atas tuduhan yang saya berikan kepada Ibu dan anak
bibi. Saya seharusnya tidak boleh menuduh seseorang tanpa bukti yang pasti.
Ini, Bi sebagai ucapan permintaan maaf.” aku memberikan sebuah amplop
kepadanya.
“Ah, ini apa? Sudah, tidak usah
repot-repot. Ini salah bibi, kok.” Bi
Inem mengembalikan amplop tersebut kepadaku.
“Ambil aja, Bi!” aku memaksanya.
Aku
langsung berlari pulang dan meninggalkan Bi Inem tanpa pamit. Aku tidak mau
amplop itu kembali ke tanganku. Dari kejauhan aku melihat Bi Inem membuka
amplop itu. Ia terlihat kaget. Diambilnya uang seratus ribu itu dari dalam
amplop, tidak lupa juga dengan secarik kertas didalamnya yang bertuliskan,
‘Bobi tidak pantas menerima uang ini. Bobi
harap uang ini bisa membantu pengobatan anak Bi Inem agar lekas sembuh. Salam,
Bobi.’
Aku melihat Bi Inem menangis. Aku yakin
bahwa air mata itu adalah air mata kebahagiaan, bukan kesedihan. Sekarang aku
sadar bahwa kebahagiaan itu bisa dimulai dari hal-hal yang sederhana.